A.
Manusia
Basuki Tjahaja Purnama (EYD: Basuki Cahaya
Purnama, nama Tionghoa lahir di Manggar, Belitung Timur, 29 Juni 1966; umur 49
tahun), atau paling dikenal dengan panggilan Hakka Ahok, adalah Gubernur DKI
Jakarta yang menjabat sejak 19 November 2014.
Basuki adalah putra pertama dari Alm. Indra
Tjahaja Purnama (Tjoeng Kiem Nam) dan Buniarti Ningsing (Boen Nen Tjauw). Ia
lahir di Belitung Timur, Bangka Belitung pada tanggal 29 Juni 1966. Basuki
memiliki tiga orang adik, yaitu Basuri Tjahaja Purnama (dokter PNS dan Bupati
di Kabupaten Belitung Timur), Fifi Lety (praktisi hukum), Harry Basuki
(praktisi dan konsultan bidang pariwisata dan perhotelan). Keluarganya adalah
keturunan Tionghoa-Indonesia dari suku Hakka (Kejia).
Masa kecil Basuki lebih banyak dihabiskan di Desa
Gantung, Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur, hingga selesai menamatkan
pendidikan sekolah menengah tingkat pertama. Setamat dari sekolah menengah
pertama, ia melanjutkan sekolahnya di Jakarta. Di Jakarta, Basuki menimba ilmu
di Universitas Trisakti dengan jurusan Teknik Geologi di Fakultas Teknik
Mineral. Selama menempuh pendidikan di Jakarta, Ahok diurus oleh seorang wanita
Bugis beragama Islam yang bernama Misribu Andi Baso Amier binti Acca. Setelah
lulus dengan gelar Insinyur Geologi, Basuki kembali ke Belitung dan mendirikan
CV Panda yang bergerak di bidang kontraktor pertambangan PT Timah pada tahun
1989.
Basuki menikah dengan Veronica, kelahiran Medan,
Sumatera Utara, dan dikaruniai 3 orang putra-putri bernama Nicholas Sean
Purnama, Nathania, dan Daud Albeenner.
Nama panggilan "Ahok" berasal dari
ayahnya. Mendiang Indra Tjahja Purnama ingin Basuki menjadi seseorang yang
sukses dan memberikan panggilan khusus baginya, yakni "Banhok". Kata
"Ban" sendiri berarti puluhan ribu, sementara "Hok"
memiliki arti belajar. Bila digabungkan, keduanya bermakna "belajar di
segala bidang. Lama kelamaan, panggilan Banhok berubah menjadi Ahok.
B.
Hakekat Manusia
Sebagai pengusaha di tahun
1995 ia mengalami sendiri pahitnya berhadapan dengan politik dan birokrasi yang korup. Pabriknya
ditutup karena ia melawan kesewenang-wenangan pejabat. Sempat terpikir olehnya
untuk hijrah dari Indonesia ke luar negeri, tetapi keinginan itu ditolak oleh
sang ayah yang mengatakan bahwa satu hari rakyat akan memilih Ahok untuk
memperjuangkan nasib mereka.
Dikenal sebagai keluarga
yang dermawan di kampungnya, sang ayah yang dikenal dengan nama Kim Nam,
memberikan ilustrasi kepada Ahok. Jika seseorang ingin membagikan uang 1 milyar
kepada rakyat masing-masing 500 ribu rupiah, ini hanya akan cukup dibagi
untuk 2000 orang. Tetapi jika uang
tersebut digunakan untuk berpolitik, bayangkan jumlah uang di APBD yang bisa
dikuasai untuk kepentingan rakyat. APBD kabupaten Belitung Timur saja mencapai
200 milyar di tahun 2005.
Bermodal keyakinan bahwa
orang miskin jangan lawan orang kaya dan orang kaya jangan lawan pejabat (Kong
Hu Cu), keinginan untuk membantu rakyat kecil di kampungnya, dan juga
kefrustasian yang mendalam terhadap kesemena-menaan pejabat yang ia alami
sendiri, Ahok memutuskan untuk masuk ke politik di tahun 2003.
Pertama-tama ia bergabung
dibawah bendera Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) yang saat itu dipimpin
oleh Dr. Sjahrir. Pada pemilu 2004 ia mencalonkan diri sebagai anggota
legislatif. Dengan keuangan yang sangat terbatas dan model kampanye yang lain
dari yang lain, yaitu menolak memberikan uang kepada rakyat, ia terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten
Belitung Timur periode 2004-2009.
Selama di DPRD ia berhasil
menunjukan integritasnya dengan menolak ikut dalam praktik KKN, menolak
mengambil uang SPPD fiktif, dan menjadi dikenal masyarakat karena ia
satu-satunya anggota DPRD yang berani secara langsung dan sering bertemu dengan
masyarakat untuk mendengar keluhan mereka sementara anggota DPRD lain lebih
sering “mangkir”.
Setelah 7 bulan menjadi
DPRD, muncul banyak dukungan dari rakyat yang mendorong Ahok menjadi bupati.
Maju sebagai calon Bupati Belitung Timur di tahun 2005, Ahok mempertahankan
cara kampanyenya, yaitu dengan mengajar dan melayani langsung rakyat dengan
memberikan nomor telfon genggamnya yang juga adalah nomor yang dipakai untuk berkomunikasi
dengan keluarganya. Dengan cara ini ia mampu mengerti dan merasakan langsung
situasi dan kebutuhan rakyat. Dengan cara kampanye yang tidak “tradisional”
ini, yaitu tanpa politik uang, ia secara mengejutkan berhasil mengantongi suara
37,13 persen dan menjadi Bupati Belitung Timur periode 2005-2010. Padahal
Belitung Timur dikenal sebagai daerah basis Masyumi, yang juga adalah kampung
dari Yusril Ihza Mahendra.
Bermodalkan pengalamannya
sebagai pengusaha dan juga anggota DPRD yang mengerti betul sistem keuangan dan
budaya birokrasi yang ada, dalam waktu singkat sebagai Bupati ia mampu
melaksanakan pelayanan kesehatan gratis, sekolah gratis sampai tingkat SMA,
pengaspalan jalan sampai ke pelosok-pelosok daerah, dan perbaikan pelayanan
publik lainya. Prinsipnya sederhana: jika kepala lurus, bawahan tidak berani
tidak lurus. Selama menjadi bupati ia dikenal sebagai sosok yang anti sogokan
baik di kalangan lawan politik, pengusaha, maupun rakyat kecil. Ia memotong
semua biaya pembangunan yang melibatkan kontraktor sampai 20 persen. Dengan demikian ia memiliki banyak kelebihan
anggaran untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat.
Kesuksesan ini terdengar ke
seluruh Bangka Belitung dan mulailah muncul suara-suara untuk mendorong Ahok
maju sebagai Gubernur di tahun 2007. Kesuksesannya di Belitung Timur tercermin
dalam pemilihan Gubernur Babel ketika 63 persen pemilih di Belitung Timur
memilih Ahok. Namun sayang, karena banyaknya manipulasi dalam proses pemungutan
dan penghitungan suara, ia gagal menjadi Gubernur Babel.
Dalam pemilu legislative
2009 ia maju sebagai caleg dari Golkar. Meski awalnya ditempatkan pada nomor
urut keempat dalam daftar caleg (padahal di Babel hanya tersedia 3 kursi), ia
berhasil mendapatkan suara terbanyak dan memperoleh kursi DPR berkat perubahan
sistem pembagian kursi dari nomor urut menjadi suara terbanyak.
Selama di DPR, ia duduk di
komisi II. Ia dikenal oleh kawan dan lawan sebagai figur yang apa adanya,
vokal, dan mudah diakses oleh masyarakat banyak. Lewat kiprahnya di DPR ia
menciptakan standard baru bagi anggota-anggota DPR lain dalam anti-korupsi,
transparansi dan profesionalisme. Ia bisa dikatakan sebagai pioner dalam
pelaporan aktivitas kerja DPR baik dalam proses pembahasan undang-undang maupun
dalam berbagai kunjungan kerja. Semua laporan bisa diakses melalui websitenya.
Sementara itu, staf ahlinya bukan hanya sekedar bekerja menyediakan materi
undang-undang tetapi juga secara aktif mengumpulkan informasi dan mengadvokasi
kebutuhan masyarakat. Saat ini, salah satu hal fundamental yang ia sedang
perjuangkan adalah bagaimana memperbaiki sistem rekrutmen kandidat kepala
daerah untuk mencegah koruptor masuk dalam persaingan pemilukada dan membuka
peluang bagi individu-individu idealis untuk masuk merebut kepemimpinan di daerah.
Ahok berkeyakinan bahwa
perubahan di Indonesia bergantung pada apakah individu-individu idealis berani
masuk ke politik dan ketika di dalam berani mempertahankan integritasnya.
Baginya, di alam demokrasi, yang baik dan yang jahat memiliki peluang yang sama
untuk merebut kepemimpinan politik. Jika individu-individu idealis tidak berani
masuk, tidak aneh kalau sampai hari ini politik dan birokrasi Indonesia masih
sangat korup. Oleh karena itu ia berharap model berpolitik yang ia sudah
jalankan bisa dijadikan contoh oleh rekan-rekan idealis lain untuk masuk dan
berjuang dalam politik. Sampai hari ini
ia masih terus berkeliling bertemu dengan masyarakat untuk menyampaikan pesan
ini dan pentingnya memiliki pemimpin yang bersih, transparan, dan profesional.
Di tahun 2006, Ahok
dinobatkan oleh Majalah TEMPO sebagai salah satu dari 10 tokoh yang mengubah
Indonesia. Di tahun 2007 ia dinobatkan sebagai Tokoh Anti Korupsi dari
penyelenggara negara oleh Gerakan Tiga Pilar Kemitraan yang terdiri dari KADIN,
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, dan Masyarakat Transparansi
Indonesia. Melihat kiprahnya, kita bisa mengatakan bahwa berpolitik ala Ahok
adalah berpolitik atas dasar nilai pelayanan, ketulusan, kejujuran, dan
pengorbanan; bukan politik instan yang sarat pencitraan.
Tahun 2012 nama Ahok kian
mencuat karena dipilih Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon wakil gubernur DKI
Jakarta yang diusung PDI-P dan Gerindra, setelah melalui dua tahap Pemilukada,
akhirnya pasangan Jokowi-Basuki ditetapkan sebagai pemenang dan dilantik
sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 pada 15 Oktober 2012.
C.
Kepribadian bangsa Tiong hoa
Basuki adalah putra pertama
dari Alm. Indra Tjahaja Purnama (Tjoeng Kiem Nam) dan Buniarti Ningsing (Boen
Nen Tjauw). Ia lahir di Belitung Timur, Bangka Belitung pada tanggal 29 Juni
1966. Basuki memiliki tiga orang adik, yaitu Basuri Tjahaja Purnama (dokter PNS
dan Bupati di Kabupaten Belitung Timur), Fifi Lety (praktisi hukum), Harry
Basuki (praktisi dan konsultan bidang pariwisata dan perhotelan). Keluarganya
adalah keturunan Tionghoa-Indonesia dari suku Hakka (Kejia).
Tionghoa-Indonesia adalah
salah satu etnis di Indonesia yang asal usul leluhur mereka berasal dari
Tiongkok. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien),
Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka
disebut Tangren atau lazim disebut Huaren. Disebut Tangren dikarenakan sesuai
dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok
selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Tiongkok
utara menyebut diri mereka sebagai orang Han.
Leluhur orang
Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu
melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah
Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk.
Catatan-catatan dari Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di
Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di
Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas
barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.
D.
Pengertian kebudayaan
Berdasarkan Volkstelling
(sensus) pada masa Hindia Belanda, populasi Tionghoa-Indonesia mencapai
1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia pada tahun 1930.
Tidak ada data resmi
mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak
Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya
pernah memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000
(2,5%) pada tahun 1961.
Dalam sensus penduduk pada
tahun 2000, ketika untuk pertama kalinya responden sensus ditanyai mengenai
asal etnis mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku
sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku
Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di antara kisaran 4% - 5% dari seluruh
jumlah populasi Indonesia.
E.
Wujud kebudayaan
Ramainya interaksi
perdagangan di daerah pesisir tenggara Tiongkok, menyebabkan banyak sekali
orang-orang yang juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan
utama saat itu adalah Asia Tenggara. Karena pelayaran sangat tergantung pada
angin musim, maka setiap tahunnya para pedagang akan bermukim di
wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada
pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula
pedagang yang pulang ke Tiongkok untuk terus berdagang.
F.
Orientasi Nilai Budaya
Ahok adalah dari Keluarga keturunan Tionghoa-Indonesia dimana
tionghoa berasal dari tiongkok dan sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di
Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap
dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah: Sumatera Utara,
Bangka-Belitung, Sumatera Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat,
Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
Hakka -
Jakarta, Aceh, Sumatera Utara, Batam, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung,
Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Manado, Ambon
dan Jayapura.
Hainan - Pekanbaru, Batam, dan Manado.
Hokkien - Sumatera Utara, Riau (Pekanbaru,
Selatpanjang, Bagansiapiapi, dan Bengkalis), Padang, Jambi, Sumatera Selatan,
Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai,
Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Manado, dan
Ambon.
Kantonis - Jakarta, Medan , Makassar dan Manado.
Hokchia - Jawa (terutama di Bandung, Cirebon,
Banjarmasin dan Surabaya).
Di
Tangerang Banten, masyarakat Tionghoa telah menyatu dengan penduduk setempat
dan mengalami pembauran lewat perkawinan, sehingga warna kulit mereka
kadang-kadang lebih gelap dari Tionghoa yang lain. Istilah buat mereka disebut
Cina Benteng. Keseniannya yang masih ada disebut Cokek, sebuah tarian lawan
jenis secara bersama dengan iringan paduan musik campuran Tionghoa, Jawa, Sunda
dan Melayu.
G.
Perubahan kebudayaan
Orang dari Tiongkok daratan
telah ribuan tahun mengunjungi dan mendiami kepulauan Nusantara.
Beberapa catatan tertua
ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada
abad ke-7. Fa Hien melaporkan suatu kerajaan di Jawa ("To lo mo") dan
I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu
di Nusantara untuk belajar bahasa Sanskerta. Di Jawa ia berguru pada seseorang
bernama Jnnhabhadra.
Dengan berkembangnya
kerajaan-kerajaan di Nusantara, para imigran Tiongkok pun mulai berdatangan,
terutama untuk kepentingan perdagangan. Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang
Tionghoa disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa
dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam suatu prasasti
perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina, yang
berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana.
Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-motif
kain sutera Tiongkok.
H.
Kaitan Manusia dan
kebudayaan
Pada Orde Lama, terdapat
beberapa menteri Republik Indonesia dari keturunan Tionghoa seperti Oei Tjoe
Tat, Ong Eng Die, Siauw Giok Tjhan, dll. Bahkan Oei Tjoe Tat pernah diangkat
sebagai salah satu Tangan Kanan Ir. Soekarno pada masa Kabinet Dwikora. Pada
masa ini hubungan Ir. Soekarno dengan beberapa tokoh dari kalangan Tionghoa
dapat dikatakan sangat baik. Walau pada Orde Lama terdapat beberapa kebijakan
politik yang diskriminatif seperti Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang
melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi
dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang
dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun
1965 dan lainnya.